Beberapa minggu belakangan, keberhasilan Ghozali yang berhasil meraih miliaran rupiah dari penjualan swafoto dirinya dalam bentuk Non-Fungible Token (NFT) menghiasi hampir seluruh media pemberitaan di dalam negeri. Dengan mengusung tema Ghozali Everyday, mahasiswa Universitas Dian Nuswantoro, Semarang ini secara rutin mengunggah swafoto dirinya di depan layar komputer sejak tahun 2017 di platform lokapasar NFT OpenSea. [1]
Keberhasilan Ghozali membuka mata banyak pihak tentang peluang bisnis yang besar di balik NFT. Bagi mereka yang paham, NFT menjadi salah satu opsi untuk memperluas jangkauan bisnis atau karya mereka. Sementara itu, sebagian pihak lainnya cenderung hanya bersifat ikut-ikutan atau FOMO (Fear Of Missing Out) atas tren yang tengah berkembang.
Apa Itu NFT?
NFT dapat diterjemahkan secara bebas sebagai token yang tidak dapat dipertukarkan. Dengan demikian, NFT bersifat unik dan tidak dapat dipertukarkan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini berbeda dengan aset kripto lain seperti Bitcoin yang bersifat dapat dipertukarkan (fungible) dengan Bitcoin lain yang sama nilainya. [2]
NFT merupakan aset digital yang menunjukkan kepemilikan atas aset tertentu yang bersifat unik yang pada umumnya banyak digunakan untuk aset berupa karya seni seperti lukisan, karya digital, gim, musik, lagu, dan sebagainya. Bagi para pekerja seni, NFT memberi ruang yang lebih besar bagi mereka untuk menjaga keorisinalitasan dan memperluas jangkauan pasar atas karya mereka.
NFT dan Potensi Pencucian Uang
Di balik kelebihan yang ditawarkan oleh NFT, beberapa pihak berpandangan bahwa NFT dapat menjadi lahan baru praktik pencucian uang (money laundering). Ivan Yustiavandana, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan bahwa terdapat potensi penyalahgunaan NFT sebagai ladang pencucian uang karena kerentanan yang dapat dieksploitasi oleh pelaku pencucian uang seperti tidak adanya batas kewajaran harga, kontrol atau kebijakan yang belum menjangkau platform atau lokapasar NFT, dan risiko penyembunyian informasi. [3]
Pencucian uang sendiri merupakan suatu aktivitas atau perbuatan menyamarkan atau menyembunyikan asal usul uang atau harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana sehingga uang atau hasil kekayaan tersebut seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah dan legal. Secara garis besar, pencucian uang dilakukan dalam tiga tahap, yakni (1) penempatan (placement) yakni menempatkan uang atau harta kekayaan dari hasil tindak pidana ke dalam sistem keuangan; (2) transfer (layering) yaitu tindakan memindahkan atau mengubah bentuk harta melalui serangkaian transaksi keuangan yang kompleks dalam rangka mempersulit upaya pelacakan asal usul harta; dan (3) pengintegrasian (integration) yaitu tindakan mengembalikan harta yang telah dicuci untuk dinikmati seperti dikonsumsi atau digunakan untuk membiayai bisnis yang sah atau tindak pidana lain. [4]
Bagaimana NFT dapat digunakan sebagai sarana pencucian uang dapat dijelaskan dalam contoh berikut. Asumsikan Tuan A memiliki dana yang disimpan di luar negeri sebesar Rp10 miliar dari hasil tindak pidana. Agar dapat menikmati dana tersebut, Tuan A memerintahkan komplotannya di luar negeri untuk membuka banyak akun di platform lokapasar NFT (termasuk kemungkinan untuk membeli atau mencuri akun yang telah ada) dan di sisi lain ia beserta komplotannya yang lain di dalam negeri juga membuka akun di platform yang sama dan membeli berbagai NFT dengan harga yang murah. Dengan melakukan serangkaian transaksi jual beli, NFT yang semula berharga murah akan terus diperjualbelikan sedemikian rupa sehingga pada akhirnya akan terjual di harga yang tinggi. Tuan A dan komplotannya dapat berdalih bahwa NFT yang mereka jual di harga tinggi merupakan aset karya seni yang memiliki nilai subjektif sehingga seolah-olah dana yang mereka peroleh berasal dari aktivitas yang sah dan legal.
Pada dasarnya praktik pencucian uang tersebut tidak hanya dapat dilakukan dengan menggunakan media NFT, tetapi juga aset lainnya termasuk aset fisik terutama yang tidak memiliki nilai patokan yang jelas dan bersifat subjektif misalnya karya seni berupa lukisan. Hanya saja, NFT memungkinkan jangkauan yang bersifat global dan menawarkan kemudahan karena bersifat digital. Selain itu, masih minimnya regulasi yang mampu menjangkau platform NFT di luar negeri memunculkan tantangan yang lebih kompleks untuk mengawasi transaksi tersebut.
Apa yang Sebaiknya Dilakukan?
Meskipun dapat digunakan sebagai sarana pencucian uang, bukan berarti hal tersebut dapat dijadikan sebagai alasan oleh pemerintah untuk melarang NFT. Terlebih NFT memungkinkan para pekerja seni untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai “demokratisasi dunia seni”. [5] Namun, pemerintah tentu dapat mengambil serangkaian kebijakan untuk menjamin terciptanya praktik yang legal dan sehat di dalam industri NFT.
Langkah pertama yang dapat ditempuh adalah dengan memperkuat regulasi industri NFT di tanah air, misalnya bekerja sama dengan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) untuk memposisikan exchanger atau pedagang fisik aset kripto sebagai pihak pelapor ketika terdapat transaksi yang mencurigakan serta memastikan bahwa prinsip mengenali nasabah (Know Your Customer – KYC) benar-benar diterapkan di dalam industri. Pemerintah juga dapat mendorong perkembangan industri NFT dalam negeri dengan mempermudah perizinan termasuk memberikan fasilitas kemudahan pendirian bursa NFT.
Ketika terdapat kesulitan untuk menjangkau dan mengawasi platform NFT di luar negeri, rekomendasi yang dihasilkan dari 5th Global Conference on Criminal Finances and Cryptocurrencies dapat dijadikan sebagai pedoman. Dalam konferensi yang diadakan oleh Basel Institute on Governance, INTERPOL, dan Europol pada tanggal 7-8 December 2021 tersebut, terdapat tujuh rekomendasi yang perlu dipertimbangkan dalam rangka mengatasi risiko yang berkembang dan menjaga industri tetap aman bagi seluruh pihak. Ketujuh rekomendasi tersebut adalah: [6]
- kerja sama internasional (international cooperation);
- pemulihan aset virtual (virtual asset recovery);
- kerja sama publik-swasta (public-private cooperation);
- harmonisasi regulasi dan implementasinya yang efektif (harmonised regulation and its effective implementation);
- teknik dan teknologi investigasi (investigative techniques and technologies);
- peningkatan kapasitas (capacity building); dan
- pendekatan multidisiplin, termasuk melalui unit penegakan hukum khusus (multidisciplinary approach, including through specialised law enforcement units).
Sementara itu, bagi para pelaku industri, termasuk penikmat NFT, kepatuhan terhadap regulasi yang ada serta penggunaan NFT secara bijak dan bertanggung jawab merupakan kunci utama. Selain itu, pengguna juga perlu bersikap kritis terhadap tawaran-tawaran dari kelompok tertentu untuk mendorong kenaikan nilai NFT mengingat hal tersebut bisa jadi merupakan bagian dari praktik pencucian uang oleh pelaku kejahatan.
Referensi:
[1] OpenSea. Ghozali Everyday.
[2] The Verge. NFTs Explained.
[3] CNN Indonesia. PPATK Sebut NFT Bisa Disalahgunakan Jadi Lapak Cuci Uang.
[4] Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Pengantar Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan TPPT.
[5] Kompas TV. NFT Bisa Laku Mahal, Bagaimana Potensi Pencucian Uang di Dalamnya?
[6] Basel Institute on Governance. Combating virtual assets-based money laundering and crypto-enabled crime: Recommendations of the Tripartite Working Group on Criminal Finances and Cryptocurrencies.