Sebagaimana dijelaskan dalam UU PPh, Objek PPh adalah penghasilan dalam arti luas. Bagi bentuk usaha tetap (BUT), yang menjadi objek pajak adalah:
- penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
- penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of attraction);
- penghasilan yang menjadi Objek PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected income).
Biaya-biaya yang berkaitan dengan ketiga jenis penghasilan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan BUT. Namun, untuk biaya-biaya terkait kantor pusat berlaku ketentuan sebagai berikut.
- biaya administrasi kantor pusat yang dapat dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
- pembayaran kepada kantor pusat yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya adalah:
- royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;
- imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
- bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Pada dasarnya, BUT merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya. Oleh karena itu, pembayaran yang diterima oleh BUT dari kantor pusat berupa:
- royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;
- imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
- bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan,
tidak dianggap sebagai objek pajak.
Contoh:
A Inc. merupakan subjek pajak luar negeri yang bergerak di bidang penjualan mesin cetak. A Inc. menjalankan usaha penjualan mesin cetak mereka di Indonesia melalui BUT A. Pada tahun 2019, diperoleh informasi sebagai berikut.
- BUT A berhasil membukukan penjualan mesin cetak sebesar Rp10 miliar;
- Terdapat penjualan mesin cetak secara langsung oleh A Inc. kepada konsumen di Indonesia sebesar Rp5 miliar;
- A Inc juga memperoleh penghasilan dari jasa instalasi dan perawatan mesin cetak senilai Rp500 juta yang pelaksanaan kegiatannya dilakukan oleh BUT A. Atas pekerjaan tersebut, BUT A memperoleh imbalan sebesar Rp100 juta dari A Inc.;
- Biaya-biaya yang dapat dikurangkan diasumsikan sebesar Rp10 miliar; dan
- Terdapat pembebanan biaya jasa manajemen A Inc. kepada BUT A sebesar Rp1 miliar.
Berdasarkan informasi tersebut, BUT A pada awalnya menghitung laba usaha menurut pajak sebagai berikut.
Komponen | Nilai (Rp) |
Penghasilan dari penjualan mesin cetak | 10.000.000.000 |
Penghasilan dari pemberian jasa dari A Inc. | 100.000.000 |
Total penghasilan | 10.100.000.000 |
Biaya usaha | (10.000.000.000) |
Biaya jasa manajemen A Inc. | (1.000.000.000) |
Laba (rugi) usaha menurut pajak | (900.000.000) |
Berdasarkan UU PPh, laba usaha menurut pajak BUT A seharusnya dihitung sebagai berikut.
Komponen | Nilai (Rp) |
Penghasilan dari penjualan mesin cetak | 10.000.000.000 |
Penghasilan dari penjualan mesin cetak oleh A Inc (force of attraction) | 5.000.000.000 |
Penghasilan dari jasa instalasi dan perawatan mesin cetak A Inc (effectively connected income) | 500.000.000 |
Total penghasilan | 15.500.000.000 |
Biaya usaha | (10.000.000.000) |
Laba (rugi) usaha menurut pajak | 5.500.000.000 |
Referensi:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang_undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Tinggalkan Balasan