PPh Pasal 15 atas Pelayaran Dalam Negeri

Avatar Riki Asp

Sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU PPh, Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto digunakan untuk menghitung penghasilan neto untuk golongan Wajib Pajak tertentu, salah satunya yaitu perusahaan pelayaran. Penggunaan Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto didasari pada pertimbangan kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi perusahaan pelayaran dalam negeri, perlu dijelaskan mengenai Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri selaku penanggung pajak. Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri adalah orang yang bertempat tinggal atau badan yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang melakukan usaha pelayaran dengan kapal yang didaftarkan baik di Indonesia maupun di luar negeri atau dengan kapal pihak lain. 

Khusus untuk Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri, penghasilan neto ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari nilai peredaran bruto. Peredaran bruto sendiri merupakan semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari:

  1. Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia;
  2. Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia;
  3. Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan
  4. Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.

Sementara itu, besarnya Pajak Penghasilan terutang (PPh Pasal 15) adalah sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto dimaksud dan bersifat final.

Pelunasan PPh Pasal 15 yang terutang dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu:

  1. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong pajak, maka pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib memotong PPh Pasal 15, memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 15 kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan, menyetor PPh Pasal 15 yang telah dipotong paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkannya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan; atau
  2. Dalam hal penghasilan diperoleh selain dari perjanjian persewaan atau charter dengan pemotong pajak atau pengguna jasa bukan pemotong pajak, maka Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri menyetor sendiri PPh Pasal 15 terutang paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan melaporkannya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya atau diperolehnya penghasilan.

Untuk memudahkan dalam memahami penerapan PPh Pasal 15 bagi Wajib Pajak pelayaran dalam negeri, anggaplah PT DEF menyewa kapal dari PT TUV Lines, sebuah maskapai pelayaran nasional dengan nilai sewa sebesar Rp1.000.000.000,00. Ketika PT DEF membayar biaya sewa kapal seluruhnya pada tanggal 20 Januari 2019, maka PT DEF:

  1. Memotong PPh Pasal 15 sebesar Rp12.000.000,00 (1,2% x Rp1.000.000.000,00);
  2. Membuat Bukti Pemotongan PPh Pasal 15;
  3. Melakukan penyetoran PPh Pasal 15 yang telah dipotong paling lambat tanggal 10 Februari 2019; dan
  4. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 15 dalam SPT Masa PPh Pasal 15 Masa Pajak Januari 2019 paling lambat tanggal 20 Februari 2019.

Sebaliknya jika PT TUV Lines menyewakan kapal kepada selain pemotong pajak, misalkan kepada Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengangkut bahan makanan untuk pengungsi dan memperoleh pembayaran senilai Rp1.000.000.000,00 pada tanggal 20 Februari 2019, maka PT TUV Lines wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15 terutang senilai Rp12.000.000,00 (1,2% x Rp1.000.000.000,00) paling lambat tanggal 10 Maret 2019 dan melaporkan penyetoran tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 15 Masa Pajak Februari 2019 paling lambat tanggal 20 Maret 2019.

Apabila Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri membayar pajak di luar negeri atas penghasilan di luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan kapal, pajak yang dibayar di luar negeri tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang dengan ketentuan untuk masing-masing negara setinggi-tingginya 1,2% (satu koma dua persen) dari penghasilan di luar negeri tersebut. Selain itu, apabila Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri juga menerima atau memperoleh penghasilan lainnya selain penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan kapal maka atas penghasilan lainnya tersebut dikenakan PPh berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Perubahannya.
  2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri.
  3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ.4/1996 tentang PPh Terhadap Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri.

Tagged in :

Avatar Riki Asp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *