Obligasi Daerah Sebagai Salah Satu Alternatif Sumber Pembiayaan Keuangan Daerah

Avatar Riki Asp

Penerapan asas desentralisasi berimplikasi pada penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah. Salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah adalah kewenangan dalam pengelolaan keuangan daerah.

rikiasp.id ilustrasi obligasi daerah
Ilustrasi Uang (Gambar oleh Steve Buissinne dari Pixabay)

Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat (UU Nomor 33 Tahun 2004). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan peraturan daerah yang terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan (UU Nomor 17 Tahun 2003). Pembentukan peraturan daerah atas APBD dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan menjadi dasar yang melegitimasi pemerintah daerah untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran daerah.

Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pada umumnya pemerintah daerah mengambil kebijakan pengelolaan APBD defisit. Defisit di dalam APBD menunjukkan jumlah pengeluaran daerah yang melebihi jumlah penerimaan daerah pada tahun anggaran bersangkutan. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam peraturan daerah tentang APBD (UU Nomor 17 Tahun 2003).

Kebutuhan daerah dalam membiayai kegiatannya menjadi semakin tinggi sebagai dampak adanya Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Pandemi COVID-19 merupakan sebuah bencana yang tidak hanya berdampak pada kesehatan tetapi juga mengancam perekonomian. Oleh karena itu, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan dalam rangka penanganan COVID-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian dan stabilitas keuangan. Dari perspektif keuangan daerah, kebijakan tersebut antara lain berupa penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), penyesuaian alokasi, dan pemotongan/penundaan penyaluran anggaran transfer ke daerah yang dapat berdampak pada berkurangnya kapasitas fiskal daerah (UU Nomor 2 Tahun 2020). Selain itu, program pemulihan ekonomi untuk meremediasi dampak dari COVID-19 juga membutuhkan biaya yang besar.

UU Nomor 17 Tahun 2003 mendefinisikan pembiayaan sebagai setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Dalam hal APBD diperkirakan defisit, pembiayaan atas defisit APBD menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 dapat bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), dana cadangan, penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pinjaman daerah.

Obligasi daerah merupakan salah satu bentuk pinjaman daerah yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan yang bersifat jangka panjang. Seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan pemerintah daerah dan terbatasnya kapasitas fiskal daerah untuk membiayai kebutuhan tersebut, obligasi daerah dapat menjadi sebuah solusi. Akses pendanaan yang lebih luas, meningkatkan investasi dan proyek di daerah, dan mendorong sistem tata kelola dan profesionalitas dalam pengelolaan keuangan daerah merupakan beberapa keunggulan yang ditawarkan melalui penerbitan obligasi daerah. Namun demikian, penerbitan dan pengelolaan obligasi memiliki risiko yang perlu dimitigasi secara prudensial agar tidak berdampak negatif kepada daerah.

Beberapa pemerintah daerah telah menyatakan minat dan kesiapannya untuk menerbitkan obligasi daerah seperti Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan Pemerintah DKI Jakarta (Kontan, 2019). Namun demikian, sampai dengan tulisan ini dibuat belum ada satu pun dari pemerintah daerah tersebut yang berhasil menerbitkan obligasi daerah untuk pertama kalinya. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan, Hoesen mengatakan bahwa beberapa faktor yang menghambat penerbitan obligasi daerah antara lain kurang atau tidak adanya pengalaman dalam menerbitkan surat utang, kebutuhan untuk membentuk tim persiapan penerbitan obligasi daerah, ketersediaan proyek yang menguntungkan sebagai dasar penerbitan obligasi daerah, dan proses panjang dalam penerbitan obligasi daerah (Tempo, 2019).

Oleh karena itu, pemerintah terus mengupayakan dan mendorong penerbitan obligasi daerah melalui perbaikan dan kemudahan regulasi di dalam proses penerbitan obligasi daerah. Salah satu bentuk kemudahan regulasi yang diberikan oleh pemerintah tercantum di dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 yang mengatur bahwa penerbitan obligasi daerah dapat dilakukan tanpa harus memperoleh persetujuan DPRD.

Obligasi Daerah Sebagai Bagian dari Pinjaman Daerah

UU Nomor 32 Tahun 2004 mendefinisikan pinjaman daerah sebagai semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Selain digunakan sebagai alternatif sumber pembiayaan, pinjaman daerah dapat pula digunakan untuk menutup kekurangan kas. PP Nomor 56 Tahun 2018 membagi jenis pinjaman daerah menjadi:

  1. Pinjaman jangka pendek, yaitu pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dengan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran berjalan dan hanya digunakan untuk menutup kekurangan arus kas;
  2. Pinjaman jangka menengah, yaitu pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dengan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan dan digunakan untuk membiayai kegiatan prasarana dan/atau sarana pelayanan publik di daerah yang tidak menghasilkan penerimaan daerah; dan
  3. Pinjaman jangka panjang, yaitu pinjaman daerah dalam jangka waktu pengembalian pinjaman lebih dari satu tahun anggaran dengan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain yang seluruhnya harus dilunasi pada tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman dan digunakan untuk membiayai infrastruktur dan/atau kegiatan investasi berupa kegiatan pembangunan prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menjadi urusan pemerintahan daerah dengan tujuan:
    1. menghasilkan penerimaan langsung berupa pendapatan bagi APBD yang berkaitan dengan pembangunan prasarana dan/atau sarana daerah;
    2. menghasilkan penerimaan tidak langsung berupa penghematan belanja APBD yang seharusnya dikeluarkan apabila kegiatan tersebut tidak dilaksanakan; dan/atau
    3. memberikan manfaat ekonomi dan sosial.

Obligasi daerah didefinisikan sebagai pinjaman daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal (PP Nomor 56 Tahun 2018). Dengan melihat definisi tersebut dari konsep jenis pinjaman daerah, dapat disimpulkan bahwa obligasi daerah termasuk ke dalam kategori pinjaman jangka panjang. Hal ini disebabkan hanya pinjaman jangka panjang yang dapat bersumber dari masyarakat, yaitu orang pribadi dan/atau badan yang melakukan investasi di pasar modal.

Meskipun merupakan bagian dari pinjaman daerah, terdapat beberapa karakteristik dalam obligasi daerah yang bersifat khusus dan membedakannya dari pinjaman daerah pada umumnya. Pemerintah daerah dilarang menggunakan pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah sebagai jaminan pinjaman daerah. Namun demikian, proyek yang dibiayai dari obligasi daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan obligasi daerah (PP Nomor 56 Tahun 2018). Karakteristik lain dari obligasi daerah yang dirangkum dari PP Nomor 56 Tahun 2018 yaitu antara lain:

  1. diterbitkan di pasar domestik dan dalam mata uang rupiah;
  2. tanggung jawab atas segala risiko yang timbul dari penerbitan obligasi daerah berada pada daerah;
  3. dilarang menggunakan indeks tertentu yang menyebabkan nilai nominal obligasi daerah pada saat jatuh tempo tidak sama dengan nilai nominal pada saat diterbitkan; dan
  4. digunakan untuk membiayai infrastruktur dan/atau investasi berupa kegiatan pembangunan prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menjadi urusan pemerintahan daerah dan tidak melampaui akhir tahun anggaran pada masa berakhirnya jabatan kepala daerah, kecuali kegiatan dimaksud untuk mendukung prioritas nasional;

Terdapat catatan terkait kegiatan yang dapat dibiayai melalui penerbitan obligasi daerah. Ketentuan di dalam PP Nomor 56 Tahun 2018 tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa kegiatan dimaksud merupakan kegiatan yang menghasilkan penerimaan sebagaimana tercantum di dalam PMK Nomor 111 Tahun 2012. Ketiadaan persyaratan sebagai sebuah kegiatan yang menghasilkan penerimaan berimplikasi positif pada semakin luasnya kesempatan bagi daerah untuk membiayai kegiatan mereka melalui penerbitan obligasi daerah. Namun demikian, apabila tidak dilakukan dengan hati-hati, terdapat risiko daerah akan mengalami kesulitan dalam pembayaran bunga dan pelunasan pokok obligasi daerah. Sebaliknya, persyaratan sebagai kegiatan yang menghasilkan penerimaan sebagaimana diatur di dalam PMK Nomor 111 Tahun 2012 membantu mempertahankan atau meningkatkan kapasitas fiskal daerah namun mempersempit cakupan area kegiatan yang dapat dibiayai melalui obligasi negara. PMK Nomor 111 Tahun 2012 diterbitkan mengacu pada PP Nomor 30 Tahun 2011—yang dicabut dengan PP No. 56 Tahun 2018—yang mengatur bahwa penerbitan obligasi hanya dapat dilakukan untuk membiayai kegiatan yang menghasilkan penerimaan.

Selain itu, ketentuan di dalam PP Nomor 56 Tahun 2018 melarang pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri. Mengingat obligasi daerah ditertibkan di pasar modal dalam negeri, terdapat kemungkinan obligasi daerah tersebut dapat dibeli oleh pihak luar negeri yang berinvestasi di pasar modal. Hal ini berbeda dengan ketentuan awal terkait pinjaman daerah sebagaimana tercantum di dalam PP Nomor 54 Tahun 2005 yang telah dicabut yang mengatur bahwa larangan bagi daerah untuk melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri tidak berlaku apabila terjadi sebagai akibat penerbitan obligasi daerah di pasar modal. Dengan demikian, dengan mengasumsikan bahwa obligasi daerah merupakan bentuk dari pinjaman langsung, diperlukan regulasi dan pengawasan untuk memastikan bahwa obligasi daerah hanya dapat dimiliki oleh pihak-pihak selain pihak luar negeri.   

Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh daerah sebelum dapat menerbitkan obligasi daerah. Sesuai ketentuan di dalam PP Nomor 56 Tahun 2018, persyaratan tersebut adalah:

  1. Laporan keuangan daerah yang diaudit terakhir harus dengan opini wajar tanpa pengecualian atau wajar dengan pengecualian;
  2. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Yang dimaksud dengan jumlah sisa pinjaman daerah adalah jumlah seluruh kewajiban pembayaran kembali pinjaman lama yang belum dibayar, yang meliputi pembayaran pokok, bunga, dan/atau kewajiban lainnya. Jumlah pinjaman yang akan ditarik menunjukkan jumlah rencana pinjaman yang diusulkan. Sementara itu, yang dimaksud dengan penerimaan umum APBD adalah seluruh penerimaan APBD yang tidak ditentukan penggunaannya, termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK), hibah, dana bagi hasil cukai hasil tembakau, dan dana reboisasi;
  3. Nilai rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman daerah paling sedikit 2,5. Rasio ini dikenal dengan istilah Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dan dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil selain Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH – DBHDR) setelah dikurangi belanja wajib dibagi penjumlahan angsuran pokok, bunga, dan biaya lain yang jatuh tempo;
  4. Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari pemerintah pusat;
  5. kegiatan yang dibiayai dari pinjaman harus sesuai dengan dokumen perencanaan daerah yang meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah; dan
  6. pinjaman daerah juga harus memenuhi persyaratan lain yang ditetapkan pemberi pinjaman.

Persyaratan ketat yang harus dipenuhi oleh daerah sebelum dapat menerbitkan obligasi daerah merupakan upaya untuk meminimalkan kemungkinan daerah mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya seperti pembayaran bunga dan pokok obligasi. Selain itu, persyaratan dimaksud juga memberikan rasa aman bagi investor yang akan berinvestasi pada obligasi daerah. Namun demikian, di sisi lain ketentuan tersebut akan mempersempit ruang bagi daerah yang tidak mampu memenuhi persyaratan untuk memperoleh akses pendanaan lain yang dibutuhkan untuk membiayai kegiatan atau pembangunan infrastruktur mereka.

Penerbitan obligasi daerah menawarkan beberapa keuntungan. Bagi kepala daerah, penerbitan obligasi daerah merupakan instrumen alternatif yang menjadi inovasi dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur yang akan meningkatkan daya saing daerah dan mendorong tata kelola yang baik karena harus memenuhi regulasi yang ketat dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Bagi masyarakat, obligasi daerah dapat digunakan sebagai sarana investasi. Selain itu, penerbitan obligasi daerah akan meningkatkan peran serta dan pengawasan secara aktif oleh masyarakat atas pembangunan daerah dan memungkinkan masyarakat untuk menikmati hasil pembangunan infrastruktur yang dibangun menggunakan obligasi daerah (RSM Indonesia, 2018).

Risiko utama yang terdapat di dalam obligasi daerah, meskipun minim, adalah risiko gagal bayar yang menunjukkan ketidakmampuan pemerintah daerah untuk memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan/atau pelunasan pokok obligasi daerah. Risiko dimaksud dapat dikatakan minim mengingat pemerintah telah mengantisipasi potensi terjadinya gagal bayar dalam obligasi daerah. Langkah antisipasi tersebut dapat dilihat dari kriteria keuangan dan nonkeuangan yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah sebelum menerbitkan obligasi daerah, pengawasan dan pertimbangan melekat dari DPRD, menteri keuangan, dan menteri dalam negeri, dan adanya opsi untuk menggunakan proyek yang dibiayai dari obligasi daerah dan barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut sebagai jaminan dalam penerbitan obligasi daerah.

Pemeringkatan (rating) atas obligasi daerah yang dilakukan oleh lembaga pemeringkatan independen dapat pula digunakan sebagai indikasi atas risiko yang melekat pada obligasi daerah (RSM Indonesia, 2018). Bagi investor, pemeringkatan tersebut akan memberikan gambaran kepada mereka atas imbal hasil yang akan diterima setelah mempertimbangkan potensi risiko. Sementara itu, hasil pemeringkatan dapat pula digunakan sebagai dorongan bagi daerah untuk mengelola dan menjaga keuangan daerah dengan baik sebagai upaya untuk menaikkan rating. Namun ketentuan terbaru memberikan kelonggaran bagi pemerintah daerah untuk tidak perlu menyampaikan hasil pemeringkatan dalam dokumen penawaran umum obligasi daerah (POJK Nomor 61/POJK.4/2017).

Penerbitan Obligasi Daerah di Indonesia

Meskipun terdapat beberapa daerah yang menyatakan minatnya untuk menerbitkan obligasi daerah, sampai dengan saat ini belum ada daerah di Indonesia yang secara resmi merealisasikan niatnya untuk menerbitkan obligasi daerah. Saat ini, terdapat tiga pemerintah daerah yang relatif siap untuk menerbitkan obligasi daerah yaitu Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (RSM Indonesia, 2018).

Terlepas dari belum adanya pemerintah daerah yang berhasil menerbitkan obligasi daerah, terdapat beberapa penelitian yang dilakukan untuk menilai kelayakan penerbitan obligasi daerah sebagai alternatif sumber pembiayaan. Beberapa penelitian juga secara spesifik mengukur kemampuan beberapa pemerintah daerah dalam menerbitkan obligasi daerah.

Penelitian yang dilakukan oleh Okta dan Kaluge, 2011 dilakukan untuk mengukur peluang penerbitan obligasi daerah sebagai alternatif pembiayaan daerah. Dengan menggunakan statistik deskriptif dan analisis SWOT, disimpulkan bahwa obligasi daerah merupakan alternatif yang layak dipertimbangkan sebagai sumber pembiayaan daerah dibandingkan pendanaan yang lain. Dalam menerbitkan obligasi daerah, strategi yang dapat ditempuh antara lain dengan memanfaatkan semangat dan potensi masyarakat daerah dan mengikutsertakan masyarakat dalam pengawasan proyek yang didanai oleh obligasi daerah.

Penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati, dkk., 2016 bertujuan untuk menilai kelayakan penerbitan obligasi daerah di Provinsi Sulawesi Selatan dalam rangka pembangunan proyek Bus Rapid Trans (BRT). Berdasarkan hasil studi kelayakan kegiatan dan penghitungan rasio-rasio keuangan, disimpulkan bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dapat memanfaatkan obligasi daerah sebagai alternatif pembiayaan proyek BRT. Selain itu, penerbitan obligasi daerah untuk membangun infrastruktur BRT dapat menunjang ketahanan ekonomi daerah.

Aini, dkk., 2020 meneliti permasalahan yang menjadi dasar tidak terbitnya obligasi daerah di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Sumatera Barat, dan Provinsi Kalimantan Barat. Dengan menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis SWOT dan data APBD masing-masing provinsi pada tahun 2019, disimpulkan bahwa ketiga provinsi tersebut secara finansial memenuhi persyaratan untuk menerbitkan obligasi daerah. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah telah memiliki strategi dan rencana yang matang dalam penerbitan obligasi daerah, sementara Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Kalimantan Barat belum memiliki perencanaan penerbitan obligasi daerah yang optimal.

Sementara itu, Sofi, 2020 melakukan penelitian untuk menganalisis kelayakan penerbitan obligasi daerah Provinsi Jawa Tengah untuk pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) dan kontribusinya terhadap pendapatan daerah. Dengan menggunakan data APBD tahun 2019, hasil penelitian menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah memenuhi kelayakan untuk menerbitkan obligasi daerah untuk pembangunan SPAM berdasarkan analisis keuangan dan nonkeuangan. Selain itu, pembangunan SPAM yang dibiayai oleh obligasi daerah akan memberikan manfaat berupa kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan peningkatan jumlah rumah tangga yang terlayani keperluan air minumnya.

Penerbitan Obligasi Daerah di Negara Lain

RSM Indonesia (2018) menyebutkan bahwa obligasi daerah secara resmi pertama kali diterbitkan oleh negara bagian New York sekitar tahun 1812. Obligasi daerah tersebut memiliki kupon sebesar 6% dan digunakan untuk membiayai pembangunan Terusan Erie senilai USD 7 juta. Terusan Erie yang menghubungkan Sungai Hudson dengan Danau Erie dan Danau Champlain berhasil meningkatkan akses masuk dan keluar New York sehingga menjadikan New York sebagai pusat keuangan Amerika Serikat seperti saat ini (RSM Indonesia, 2018).

Keberhasilan penerbitan obligasi daerah juga ditunjukkan dalam kasus pembangunan Golden Gate Bridge yang menghubungkan San Fransisco dengan Oakland, Berkeley. Untuk membiayai proyek tersebut, pemerintah menerbitkan obligasi daerah sebesar USD 35 juta dengan tenor 40 tahun dan tingkat bunga 5%. Kontrak atas proyek diberikan kepada perusahaan dan pemasok lokal sehingga memberikan kesempatan kerja yang lebih luas, dampak keuangan yang positif, dan kemakmuran ekonomi bagi penduduk sekitar (RSM Indonesia, 2018).

Bappenas (2014) menyebutkan bahwa tahun 2013 merupakan tahun pertama penerbitan obligasi daerah secara langsung oleh pemerintah daerah di China dengan nilai yang mencapai 70 miliar yuan. Jumlah ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 28,9 miliar yuan. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah pusat China yang pada awalnya membantu pengurusan penerbitan obligasi daerah dan tidak menyerahkan seluruh urusan tersebut kepada pemerintah daerah. Hanya ketika pemerintah daerah dinilai mampu dan relatif mapan, tanggung jawab penerbitan dan pengelolaan obligasi daerah tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah (Bappenas, 2014).

Contoh lain atas keberhasilan penerbitan obligasi daerah ditunjukkan oleh Ahmedabad Municipal Corporation (AMC) di India yang berhasil menerbitkan obligasi daerah sebesar USD 25 juta untuk membiayai sebagian dari kebutuhan pendanaan penyediaan air minum dan saluran limbah pada bulan Januari 1998. Salah satu pendorong keberhasilan penerbitan obligasi daerah oleh AMC tersebut adalah adanya pemberian insentif pajak yang dilakukan pemerintah pusat terhadap pembeli obligasi (Bappenas, 2014).

Meskipun demikian, terdapat pula beberapa contoh kegagalan dalam pengelolaan obligasi daerah. Salah satunya adalah obligasi daerah yang diterbitkan oleh Washington Public Power Supply System (WPPSS) untuk membiayai konstruksi lima pabrik nuklir (RSM Indonesia, 2018). Pengelolaan dan kondisi keselamatan yang buruk dan diikuti dengan penurunan permintaan atas energi nuklir mengakibatkan WPPSS mengalami gagal bayar. Pada tahun 1983, jumlah kewajiban yang masih harus dibayarkan oleh WPPSS kepada pemegang obligasi adalah sebesar USD 2,25 miliar dan hanya 40% dari jumlah tersebut yang mampu dibayar oleh WPPSS (RSM Indonesia, 2018).

Kegagalan lainnya dalam pengelolaan obligasi daerah ditunjukkan oleh kasus gagal bayar Orange County, California terkait dana Orange County Investment Pool. Akibat strategi investasi yang buruk, Orange Country Investment Pool mengalami kerugian dan pinjaman sebesar USD 1,2 miliar dari kreditur Wall Street tidak dapat dibayarkan (RSM Indonesia, 2018).

Berdasarkan pengalaman atas penerbitan obligasi daerah di negara lain, terdapat beberapa poin penting yang dapat dipelajari agar penerbitan obligasi daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Keberhasilan penerbitan obligasi daerah dapat tercapai apabila terdapat dukungan yang kuat dari pemerintah pusat, pemilihan proyek yang didanai melalui penerbitan obligasi daerah secara tepat, pemberian insentif bagi investor, pengutamaan penggunaan usaha lokal dalam pelaksanaan kegiatan atau proyek, dan penerapan strategi pengelolaan obligasi daerah secara prudensial.

Prosedur Penerbitan Obligasi Daerah

Untuk dapat menerbitkan obligasi daerah, regulasi awal mensyaratkan pemerintah daerah untuk terlebih dahulu memperoleh persetujuan DPRD. Namun sejak diundangkannya UU No. 11 Tahun 2020, persetujuan DPRD tersebut dihilangkan sehingga pemerintah daerah dapat langsung mengajukan usulan rencana penerbitan obligasi daerah kepada menteri dalam negeri untuk memperoleh pertimbangan dan kepada menteri keuangan untuk memperoleh persetujuan. Penyederhanaan prosedur penerbitan obligasi daerah dimaksud merupakan salah satu upaya untuk mempercepat proses penerbitan obligasi daerah dan mencegah terjadinya perbedaan pendapat antara pemerintah daerah dan DPRD yang dapat bermuatan politis dan menghambat perkembangan obligasi daerah. 

Secara umum, prosedur penerbitan obligasi daerah dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap penerbitan, dan tahap pertanggungjawaban. Meskipun dianggap panjang, seluruh tahap tersebut memberikan kepastian bahwa prosedur penerbitan obligasi telah melalui serangkaian pengawasan dari para pemangku kepentingan seperti pemerintah pusat dan OJK dan menjadi upaya preventif untuk memberikan perlindungan kepada daerah dan investor.

Tahap perencanaan penerbitan obligasi meliputi persiapan atas dokumen dan sumber daya manusia unit pengelola obligasi daerah  dan pengajuan usulan rencana penerbitan obligasi daerah kepada menteri dalam negeri untuk memperoleh pertimbangan (PMK Nomor 111 Tahun 2012). Pertimbangan dari menteri dalam negeri merupakan salah satu persyaratan untuk dapat mengajukan usulan rencana penerbitan obligasi daerah kepada menteri keuangan untuk memperoleh persetujuan. 

Salah satu hal yang perlu menjadi perhatian di dalam tahap perencanaan penerbitan obligasi daerah yaitu mengenai kewajiban daerah untuk menyiapkan struktur organisasi, perangkat kerja, dan sumber daya manusia unit pengelola obligasi daerah. Sebagaimana diatur di dalam PMK Nomor 111 Tahun 2012, unit pengelola obligasi daerah memiliki peran sentral dalam proses pengelolaan obligasi daerah yang meliputi:

  1. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan obligasi daerah termasuk pengendalian risiko;
  2. perencanaan dan penetapan struktur portofolio pinjaman daerah;
  3. penerbitan obligasi daerah;
  4. penjualan obligasi daerah melalui lelang untuk penjualan kembali;
  5. pembelian kembali obligasi daerah sebelum jatuh tempo;
  6. pelunasan pada saat jatuh tempo; dan
  7. pertanggungjawaban.

Mengingat sampai dengan saat ini belum ada satu pun pemerintah daerah yang telah menerbitkan obligasi daerah, terdapat kesulitan bagi pemerintah daerah dalam menyusun dan menyiapkan unit pengelola obligasi. Hal ini disebabkan ketiadaan acuan (role) di dalam perumusan kelembagaan, struktur, komponen, tugas, dan fungsi dari unit pengelola obligasi daerah. Oleh karena itu, peran pemerintah pusat sangat dibutuhkan dalam memberikan asistensi dan bantuan dalam proses pembentukan unit pengelola obligasi daerah mengingat pemerintah pusat telah memiliki pengalaman yang matang dalam menerbitkan obligasi. Di samping itu, perlu dipertimbangkan pula keterlibatan pihak eksternal atau swasta dalam proses penyiapan unit pengelola obligasi daerah.

Tahap penerbitan merupakan proses penerbitan obligasi daerah di pasar modal yang ditetapkan dengan peraturan daerah dan paling sedikit memuat mengenai jumlah nominal obligasi, penggunaan dana obligasi daerah, pembayaran pokok, bunga, dan biaya lainnya, dan jika ada, jadwal penerbitan tahunan obligasi daerah dan jaminan (PMK Nomor 111 Tahun 2012). Untuk mendorong perkembangan obligasi daerah, OJK memberikan relaksasi atas regulasi penerbitan obligasi daerah ke dalam tiga paket aturan yaitu POJK Nomor 61/POJK.4/2017, POJK Nomor 62/POJK.4/2017, dan POJK Nomor 63/POJK.4/2017.

POJK Nomor 61/POJK.4/2017 memberikan simplifikasi terkait persyaratan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penawaran umum obligasi daerah dan/atau sukuk daerah. Beberapa ketentuan pokok di dalam POJK tersebut antara lain berupa penegasan bahwa laporan keuangan pemerintah daerah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, penghapusan dokumen mengenai surat dari akuntan sehubungan dengan perubahan keadaan keuangan daerah yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan pemerintah daerah (comfort letter), penghapusan dokumen mengenai surat pernyataan dari kepala daerah di bidang akuntansi, dan tidak adanya kewajiban untuk memperoleh hasil pemeringkatan obligasi daerah dan/atau sukuk daerah.

POJK Nomor 62/POJK.04/2017 memberikan pengaturan mengenai bentuk dan isi prospektus dan prospektus ringkas dalam rangka penawaran umum obligasi daerah dan/atau sukuk daerah. Prospektus merupakan sumber informasi bagi investor dalam melakukan pertimbangan atas keputusan investasinya. Keterbukaan informasi di dalam prospektus dan prospektus ringkas disusun kembali dengan memberikan beberapa penyederhanaan terutama terkait informasi yang bersifat historis untuk lebih memudahkan daerah dalam menyusun prospektus dan prospektus ringkas dan memberikan informasi yang lebih komprehensif kepada calon pemodal.

Terakhir, POJK Nomor 63/POJK.04/2017 mengatur tentang laporan dan pengumuman emiten penerbit obligasi daerah dan/atau sukuk daerah. Pemerintah daerah yang menerbitkan obligasi daerah dan/atau sukuk daerah memiliki kewajiban untuk melakukan keterbukaan informasi secara berkala mengenai data obligasi daerah dan/atau sukuk daerah beserta keterbukaan informasi mengenai peristiwa yang bersifat material. Meski demikian, praktik keterbukaan informasi oleh pemerintah daerah tidak dapat disamakan dengan praktik keterbukaan informasi yang dilakukan oleh korporasi karena pemerintah daerah memiliki unit pengelola obligasi daerah. Oleh karena itu, ketentuan ini memberikan pedoman praktik keterbukaan informasi bagi pemerintah daerah dalam bentuk laporan dan pengumuman yang meliputi laporan keuangan yang telah diaudit, laporan realisasi penggunaan dana (LRPD), dan pengumuman informasi atau fakta material.

Apabila diperhatikan dengan saksama, ketiga paket aturan OJK tidak hanya memberikan pengaturan mengenai prosedur penerbitan obligasi daerah, tetapi juga sukuk daerah. Sukuk daerah sendiri didefinisikan sebagai sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share) atas aset yang mendasarinya yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. Perluasan cakupan tersebut memberikan manfaat bagi pemerintah daerah dalam perumusan jenis obligasi daerah yang akan diterbitkan, apakah konvensional atau berbasis syariah dan dalam memperluas target pasar.

Ketiga paket aturan yang diterbitkan oleh OJK juga tidak menjelaskan secara spesifik terkait regulasi atau pemantauan atas pembelian obligasi daerah dan/atau sukuk daerah yang dilakukan oleh pihak luar negeri. Salah satu ketentuan yang terdapat di dalam POJK Nomor 61/POJK.04/2017 menyebutkan pemerintah daerah selaku emiten wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka penawaran umum obligasi daerah dan/atau sukuk daerah yang antara lain berisi janji untuk memberikan informasi atau fakta yang sama, baik kepada calon investor Indonesia maupun asing pada saat bersamaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penawaran obligasi daerah dan/atau sukuk daerah terbuka kepada seluruh investor di pasar modal, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

Mengingat belum ada daerah yang berhasil melakukan penerbitan obligasi daerah dan/atau sukuk daerah kepada publik dan tidak adanya kewajiban untuk memperoleh hasil pemeringkatan obligasi daerah dan/atau sukuk daerah, terdapat risiko obligasi daerah dan/atau sukuk daerah akan mengalami kesulitan dalam memperoleh penjamin emisi efek atau pembeli. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk menjamin obligasi daerah dan/atau sukuk daerah dapat terserap penuh oleh pasar dengan harga yang sesuai. Untuk tujuan tersebut, pemerintah pusat dapat membentuk kerja sama strategis dengan pemerintah daerah dalam bentuk antara lain pemerintah pusat menjadi penjamin untuk membeli obligasi daerah dan/atau sukuk daerah dan sebaliknya menjual obligasi dan/atau sukuk yang mereka terbitkan untuk dibeli oleh pemerintah daerah, mendorong BUMN dan pemerintah daerah lainnya untuk turut berpartisipasi sebagai pembeli obligasi daerah dan/atau sukuk daerah, dan memberikan insentif atas investasi pada obligasi daerah dan/atau sukuk daerah. Pemerintah daerah juga harus bersikap aktif dalam menawarkan obligasi daerah dan/atau sukuk daerah mereka dengan melakukan serangkaian roadshow kepada investor potensial serta mempertimbangkan untuk menerbitkan obligasi daerah dan/atau sukuk daerah dalam nominal kecil agar terjangkau oleh investor ritel.

Terakhir, tahap pertanggungjawaban dalam prosedur penerbitan obligasi daerah meliputi penatausahaan, pertanggungjawaban atas pengelolaan dan penggunaan dana obligasi daerah termasuk pembentukan dana cadangan, dan pelaporan dan publikasi informasi terkait obligasi daerah secara berkala (PMK Nomor 111 Tahun 2012). Pelanggaran atas kewajiban penyampaian laporan pengelolaan obligasi daerah dapat berimplikasi pada penundaan penyaluran dana perimbangan.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh simpulan sebagai berikut:

  1. Penerbitan obligasi daerah layak dipertimbangkan sebagai alternatif pembiayaan keuangan daerah untuk merespons tingginya kebutuhan atas anggaran sebagai dampak pembangunan infrastruktur, penanganan pandemi COVID-19, dan upaya pemulihan perekonomian. Dorongan bagi daerah untuk menerbitkan obligasi daerah melalui relaksasi regulasi telah dilakukan bersama-sama oleh pemerintah pusat dan OJK.
  2. Obligasi daerah merupakan pinjaman daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Penerbitan obligasi daerah memberikan manfaat bagi daerah dalam bentuk akses pendanaan yang lebih luas dan peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas pengelolaan keuangan daerah. Melalui penawaran umum di pasar modal, terdapat kemungkinan obligasi daerah dapat dibeli oleh pihak luar negeri.
  3. Sampai dengan saat ini, belum ada satu pun pemerintah daerah yang telah berhasil menerbitkan obligasi daerah meskipun beberapa penelitian menunjukkan kemampuan keuangan dan nonkeuangan sejumlah pemerintah daerah memenuhi persyaratan untuk dapat menerbitkan obligasi daerah. Beberapa hambatan yang teridentifikasi dalam proses penerbitan obligasi daerah antara lain yaitu tidak adanya pengalaman dalam menerbitkan obligasi daerah, kapabilitas dalam membentuk unit pengelola obligasi daerah, ketersediaan proyek yang layak untuk didanai, dan proses yang harus dilalui dalam penerbitan obligasi daerah.
  4. Pemerintah daerah harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan secara ketat di dalam peraturan sebelum dapat menerbitkan obligasi daerah. Pemerintah daerah juga harus melalui seluruh tahapan di dalam proses penerbitan obligasi daerah yang secara umum dapat dibagi menjadi tahap perencanaan, tahap penerbitan, dan tahap pertanggungjawaban. Seluruh tahapan tersebut memerlukan kerja sama strategis yang baik antarpemangku kepentingan.

Di dalam penelitian ini, penulis juga memberikan rekomendasi yang dapat dilakukan agar penerbitan obligasi daerah dapat mencapai tujuan yang diharapkan sebagai berikut:

  1. Diperlukan adanya dukungan yang kuat dari pemerintah pusat, ketepatan pemilihan proyek, ketersediaan insentif bagi investor, pengutamaan penggunaan usaha lokal dalam pelaksanaan proyek, dan penerapan strategi pengelolaan obligasi daerah secara prudensial untuk menunjang keberhasilan penerbitan obligasi daerah.
  2. Pemerintah pusat dapat memberikan asistensi dan bantuan dalam proses pembentukan unit pengelola obligasi daerah mengingat pemerintah pusat telah memiliki pengalaman yang matang dalam menerbitkan obligasi. Di samping itu, perlu dipertimbangkan pula keterlibatan dan peran serta dari pihak eksternal atau swasta.
  3. Risiko timbulnya kesulitan dalam memperoleh penjamin emisi efek atau pembeli obligasi daerah dapat diminimalkan melalui kerja sama strategis antara pemerintah pusat, pemerintah daerah penerbit obligasi daerah, pemerintah daerah lainnya, BUMN, dan BUMD, pemberian insentif atas investasi pada obligasi daerah, sosialisasi secara aktif kepada calon investor, dan penyediaan obligasi daerah dalam nominasi kecil agar terjangkau oleh investor ritel.

Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.04/2017 tentang Dokumen Pernyataan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.04/2017 tentang Bentuk dan Isi Prospektus dan Prospektus Ringkas dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 63/POJK.04/2017 tentang Laporan dan Pengumuman Emiten Penerbit Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah s.t.d.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.07/2015.

Aini, Nor, Taymi Triyansyah, dan Kharis Fadlullah Hana. 2020. Obligasi Daerah yang “Tak Kunjung” Terbit sebagai Salah Satu Faktor Perkembangan Daerah. Jurnal Manajemen Bisnis Syariah Volume 2, Edisi 1, Januari-Juni 2020.

Ambarwati, Dian Insani, Edy Suandi Hamid, dan John Suprihanto. 2016. Kelayakan Pembiayaan Obligasi Daerah untuk Pembangunan Proyek Bus Rapid Trans (BRT) Guna Menunjang Ketahanan Ekonomi Daerah. Jurnal Ketahanan Nasional Vol. 22 No.3 Hal 267-284.

Bappenas. 2014. Tinjauan Regulasi dan Kelembagaan Penerbitan Obligasi Daerah dalam Pembangunan Infrastruktur di Daerah.

Okta, Dewi dan David Kaluge. 2011. Analisis Peluang Penerbitan Obligasi Daerah sebagai Alternatif Pembiayaan Daerah. Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 5 No. 2 Oktober 2011, 157-171.

RSM Indonesia. 2018. Obligasi Daerah Alternatif Pembiayaan Pembangunan Daerah.

Sofi, Irfan. 2020. Analisis Kelayakan Penerbitan Obligasi Daerah Provinsi Jawa Tengah untuk Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Daerah. Jurnal Manajemen Keuangan Publik Vol. 4, No. 2, (2020), Hal 1-15.

Kontan.co.id. 2019. Tiga Pemerintah Provinsi Berminat Merilis Obligasi Daerah.

Tempo.co. 2019. OJK: 4 Hal ini Jadi Penghambat Penerbitan Obligasi Daerah.

Tagged in :

Avatar Riki Asp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *