Ketentuan PPh Bagi Instansi Pemerintah

Avatar Riki Asp

Kewajiban PPh bagi Instansi Pemerintah terutama berkaitan dengan kewajiban Instansi Pemerintah sebagai pemotong dan/atau pemungut PPh. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, ketentuan perpajakan mengatur bahwa Instansi Pemerintah ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut PPh yang terutang sehubungan dengan belanja pemerintah. PPh yang wajib dipotong dan/atau dipungut oleh Instansi Pemerintah terdiri dari:

1.     PPh Pasal 4 ayat (2);

2.     PPh Pasal 15;

3.     PPh Pasal 21;

4.     PPh Pasal 22;

5.     PPh Pasal 23; dan

6.     PPh Pasal 26.

Kewajiban PPh Pasal 4 ayat (2)

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dilakukan atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lain atas:

1. Persewaan tanah dan/atau bangunan kecuali kepada penyedia jasa pelayanan penginapan beserta akomodasinya;

2. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kecuali pihak yang melakukan pengalihan adalah:

a.     Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp60.000.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;

b.     Orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan; atau

c.     Orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak.

3.     Usaha jasa konstruksi;

4.     Hadiah undian; serta

5.   Pembelian barang atau penggunaan jasa dari Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Kewajiban PPh Pasal 15

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 15 dilakukan kepada Wajib Pajak tertentu atas:

1.     Imbalan jasa pelayaran dalam negeri;

2.     Imbalan jasa penerbangan dalam negeri; atau

3.  Imbalan jasa pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri.

Kewajiban PPh Pasal 21

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Pemotongan PPh Pasal 21 tidak dilakukan atas:

1. Pembayaran kepada Wajib Pajak yang memiliki dan menyerahkan fotokopi surat keterangan terkait Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang telah dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) berdasarkan ketentuan; atau

2.  Pembayaran penghasilan kepada Wajib Pajak yang dapat menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh yang telah dilegalisasi KPP penerbit.

Kewajiban PPh Pasal 22

Instansi Pemerintah berkewajiban melakukan pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang. Namun demikian, pemungutan PPhP asal 22 tidak dilakukan atas:

1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 tidak termasuk PPN dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah-pecah;

2.   Pembayaran dengan kartu kredit pemerintah atas belanja Instansi Pemerintah Pusat;

3.   Pembayaran untuk:

a. Pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos, atau

b.  Pemakaian air dan listrik;

4. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS);

5.  Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras;

6. Pembayaran kepada Wajib Pajak yang memiliki dan menyerahkan fotokopi surat keterangan terkait Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang telah dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) berdasarkan ketentuan; atau

7.  Pembayaran untuk pembelian barang kepada Wajib Pajak yang dapat menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh yang telah dilegalisasi KPP penerbit.

Kewajiban PPh Pasal 23

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 dialkuakn atas penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap berupa:

1. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

2.  Royalti;

3.  Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal 21;

4. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta kecuali yang telah dikenai PPh Pasal 4 ayat (2);

5. Imbalan sehubungan dengan jasa yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas:

1. Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada bank;

2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;

3. Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan;

4. Imbalan sehubungan dengan jasa yang telah dikenai PPh bersifat final;

5. Imbalan sehubungan dengan jasa pengangkutan/ekspedisi yang diatur dalam Pasal 15 UU PPh;

6.     Imbalan sehubungan dengan jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21;

7. Penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak yang dapat menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh yang telah dilegalisasi KPP penerbit.

Kewajiban PPh Pasal 26

Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap berupa:

1.    Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

2.     Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

3. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan, dan/atau

4.     Hadiah dan penghargaan.

Bukti Pemotongan atau Pemungutan PPh

Dalam pelaksanaan tugasnya selaku pemotong dan/atau pemungut PPh, Instansi Pemerintah harus membuat bukti pemotongan atau pemungutan PPh serta harus menyerahkannya kepada pihak yang dilakukan pemotongan atau pemungutan PPh. Bukti pemotongan atau pemungutan PPh dapat berupa:

1.     Bukti Penerimaan Negara (BPN);

2.     Bukti pemotongan atau pemungutan sesuai ketentuan; atau

3.     Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan bukti pemotongan atau pemungutan PPh.

Referensi:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Perubahannya;

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah.

Avatar Riki Asp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *